“Setiap umat mempunyai batas waktu
(ajal-nya), makakala ia telah tiba, maka mereka tidak akan bisa
mengundurkannya sesaat pun, tidak pula mereka bisa memajukannya.” (QS
7:34)
Bulan-bulan
ini bangsa Indonesia diharu-biru oleh berbagai isu, ketegangan konflik
dan meningkatnya suhu politik, serta berbagai perilaku aneh para
politisi dan kontestan pemilu caleg yang gagal. Ada yang stress,
depresi berat, lalu gila. Ada yang ‘mutung’ mengambil kembali barang
bantuannya yang sudah diberikannya ketika kampanye tapi gagal menang
pileg. Bahkan tidak sedikit yang bunuh diri, dan-atau melakukan
pembunuhan.
Fenomena-fenomena aneh dalam praktek kehidupan sosial dan sistem politik bangsa Indonesia saat
ini semakin memperlihatkan praktek dan perwujudan cara berfikir
(filsafat/pandangan dunia) yang jauh dari realisasi asasi nilai-nilai
luhur Panca Sila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyaratan-perwakilan”. Jelasnya hampir semua (sebagian besar)
perilaku sosial-politik bangsa Indonesia kini didominasi kendali paham
pikir keserakahan materialistis. Prinsip falsafah Pancasilais:
”Ketuhanan Yang Maha Esa” dan ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” telah
tergusur oleh falsafah ”Keuangan yang maha kuasa” dan ”Kebinatangan
yang zalim dan biadab”.
Praktek kehidupan sosial-politik dan
ekonomi anak bangsa tak lagi terpimpin oleh semangat kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmah-Kebijaksaan. Demokrasi masih menjadi sekedar
menjadi alat formal-prosedural pengumpul legitimasi untuk berkuasanya
para elite politik-ekonomi. Paling tidak itulah yang dirasakan oleh
beberapa pengamat dan tokoh-tokoh yang prihantin dengan kondisi bangsa
Indonesia saat ini.
Lalu
apa hubungannya dengan Plato, filosof kelahiran Yunani (Greek
philosopher) yang hidup 427-347 Sebelum Masehi (SM)? Plato adalah salah
seorang murid Socrates, filosof arif bijaksana, yang kemudian mati
diracun oleh penguasa Athena yang zalim pada tahun 399 SM. Setelah
kematian gurunya, Plato sering bertualang, termasuk perjalanannya ke
Mesir.
Pada tahun 387 SM dia kembali ke Athena
dan mendirikan Academy, sebuah sekolah ilmu pengetahuan dan filsafat,
yang kemudian menjadi model buat universitas moderen. Murid yang paling
terkenal dari Academy tersebut adalah Aristoteles yang ajarannya punya
pengaruh yang hebat terhadap filsafat sampai saat ini.
Demi pemeliharaan Academy, banyak karya
Plato yang terselamatkan. Kebanyakan karya tulisnya berbentuk
surat-surat dan dialog-dialog, yang paling terkenal adalah Republic.
Karya tulisnya mencakup subjek yang terentang dari ilmu pengetahuan
sampai kepada kebahagiaan, dari politik hingga ilmu alam.
Dua dari dialognya, Timeaus and Critias, memuat satu-satunya referensi orsinil tentang pulau Atlantis (the island of Atlantis).
Plato menyatakan bahwa puluhan ribu
tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak,
menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan
sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua
yang hilang atau Atlantis.
Penelitian
mutakhir yang dilakukan oleh Prof. Dr. Aryso Santos, menegaskan
teorinya bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut
Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan
buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005). Santos
menampilkan 33 perbandingan ciri-ciri dari 12 lokasi di muka bumi yang
diduga para sarjana lain sebagai situs Atlantis, seperti luas
wilayahnya, cuacanya, kekayaan alamnya, gunung berapinya, dan cara
bertaninya, dll. yang akhirnya Santos menyimpulkan bahwa Atlantis itu
adalah Indonesia sekarang. Salah satu buktinya adalah sistem terasisasi
sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh
Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Aryso
Santos juga menerapkan analisis filologis (ilmu kebahasaan),
antropologis dan arkeologis dalam penelitiannya. Dia banyak mendapatkan
petunjuk dari reflief-relief dari bangunan-bangunan dan artefak
bersejarah dan piramida di Mesir, kuil-kuil suci peninggalan peradaban
Maya dan Aztec di Amerika Selatan, candi-candi dan artefak-artefak
bersejarah peninggalan peradaban Hindu di lembah sungai Hindustan
(Peradaban Mohenjodaro dan Harrapa). Juga dia mengumpulkan
petunjuk-petunjuk dari naskah-naskah kuno, kitab-kita suci berbagai
agama seperti the Bible dan kitab suci Hindu Rig Veda, Puranas, dll.
Konteks Indonesia Secara Geologis dan Geografis
Menurut Prof. Dr. H. Priyatna Abdul
Rasyid, Ph.D. Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis: bukanlah suatu kebetulan ketika Indonesia pada
tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja melalui UU No. 4
Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi Djoeanda. Isinya menyatakan
bahwa negara Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan
wilayah nusantara. Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut
Internasional 1982. Merujuk penelitian Santos, pada masa puluhan ribu
tahun yang lalu wilayah negara Indonesia merupakan suatu benua yang
menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti halnya
sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang memben-tang
dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus
ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di
wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi
oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori
Plato menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat
letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu
sebagian besar bagian dunia masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era
Pleistocene) . Dengan meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara
bersamaan yang sebagian besar terletak di wilayah Indonesia (dulu) itu,
maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh air yang berasal dari
es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan dan
gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi
di Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Samosir, yang
merupakan puncak gunung Toba yang meletus pada saat itu. Letusan yang
paling dahsyat di kemudian hari adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang
memecah bagian Sumatera dan Jawa dan lain-lainnya serta membentuk selat
dataran Sunda.
Kata Atlantis berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan (watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya
(Spanyol). Plato menegaskan bahwa wilayah Atlantis pada saat itu
merupakan pusat dari peradaban dunia dalam bentuk budaya, kekayaan
alam, ilmu pengetahuan-teknologi, dan lain-lainnya. Plato menduga bahwa
letak Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia
bersikukuh bahwa bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.Ocean berasal dari kata Sanskrit ashayana yang
berarti mengelilingi secara menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang
oleh ahli-ahli di kemudian hari seperti Copernicus, Galilei-Galileo,
Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos
berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung
berapi itu, menyebabkan lapisan es di muka bumi mencair dan mengalir ke
samudera sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu
gunung berapi tersebut membebani samudera dan dasarnya, mengakibatkan
tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudera, terutama pada
pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini diperkuat lagi
oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara beruntun dan menimbulkan
gelombang tsunami yang dahsyat. Santos, dengan mengutip teori para
geolog, menamakannya sebagai Heinrich Events, bencana katastrop yang
berdampak global. Beberapa artikel resume dari buku Aryso Santos ini
dipublikasikan di situs internetnya di http://www.atlan.org.
Menurut Santos, dalam usaha mengemukakan
pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah melakukan
dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya datar.
Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat
di wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua
yang hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa
yang berkata, “Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Priyatna mengatakan: ”Namun, ada beberapa
keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni
pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh
Santos dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah
atau panjangnya mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya
ialah Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi,
Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah
atau sedang aktif kembali.”
Ketiga, soal semburan lumpur akibat
letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut menjadi lumpur.
Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di daratan.
Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in navigable
(tidak dapat dilalui), tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus
di Sidoarjo, pernah dilakukan remote sensing, penginderaan jauh, yang
menunjukkan adanya sistim kanalisasi di wilayah tersebut. Ada
kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan lumpur panas dari
masa yang lampau.
Menurut Priyatna, bahwa Indonesia adalah
wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat
kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan
internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia.
Namun sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh
Atlantis itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya.
Koran Republika, Sabtu, 18 Juni 2005 menulis bahwa para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’
masih terselimuti kabut misteri. Sebagian orang menganggap Atlantis cuma
dongeng belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis
oleh para pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer
moderen, Atlantis tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki
di mana sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua
Atlantis terletak di Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS)
bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama
Sunda Land, suatu wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan
Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun silam, benua itu tenggelam diterjang
banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
”Para peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia,” kata Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof
Umar Anggara Jenny, Jumat (17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago, 28-30 Juni 2005.
Kata Umar, dalam dua dekade terakhir
memang diperoleh banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul
manusia. Salah satu temuan penting ini adalah hipotesa adanya sebuah
pulau besar sekali di Laut Cina Selatan yang tenggelam setelah zaman es.
0 komentar:
Posting Komentar